Senin, 18 April 2011
Jumat, 15 April 2011
Asal Mula Pasar Picung
Pada jaman dahulu di wilayah Banten Selatan hiduplah sepasang suami istri yang bernama Narwati dan Dulkarim, mereka pemilik sebuah pasar bunga yang dikenal masyarakat. Pasar bunga itu disebut Pasar Narwati karena sesuai dengan nama pemiliknya. Pasar itu letaknya sangat strategis dan tempatnya juga nyaman karena banyak ditumbuhi pohon-pohon besar yang mengelilingi pasar. Pohon itu adalah pohon kepayang atau masyarakat lebih akrab menyebutnya pohon picung.
Setiap hari Pasar Narwati selalu ramai dikunjungi banyak orang terutama para remaja yang menyukai bunga sebagai penghias rambut dan pengharum tubuh. Pada suatu hari Sinah dan Enjoh gadis remaja yang biasa bermain di pasar itu sedang asik memilih bunga, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sesuatu yang jatuh dari atas ternyata itu adalah buah picung yang jatuh. Sinah menyuruh Enjoh membuang buah itu namun Narwati datang dan melarangnya karena buah itu ternyata bisa dimanfaatkan jika kita mau mengolahnya dengan baik. Yang pertama bisa dijadikan sebagai lauk pauk dan bisa juga digunakan sebagai pengawet ikan mentah tetapi apabila tidak diolahkan dengan baik justru akan menjadi racun. Sinah dan Enjoh pun mencobanya dan ternyata benar buah yang dianggap tidak ada manfaatnya ternyata kalau kita mau mengolahnya bisa menghasilkan sesuatu yang sangat bermanfaat. Sejak saat itu masyarakat selalu ramai mencari dan mengolah buah picung. Ada yang dikonsumsi sendiri ada juga yang dijual, bahkan samapai menyebar keseluruh penjuru masyarakat.
Pada suatu hari Sinah dan Enjoh sedang asik mengolah buah picung, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dari kejuhan seperti orang sedang menebang pohon. Merkapun menghampirinya ternyata Pasar Narwati sudah tidak ada dan pohon picung yang tumbuh disekitar pasar sudah ditebang. Ternyata Narwati telah menjual pasarnya pada pemerintah Belanda. Masyarakat tidak bisa menerima kenyataan itu karena pohon picung itu sangat berguna bagi masyarakat. Selain dari tempat berteduh juga bisa mereka olah dan jual untuk menambah pendapatan. Masyarakat mengadakan pemberontakan, mereka datang berbondong-bondong untuk menghentikan penebangan itu. Akan tetapi Belanda jauh lebih kuat dan pintar, mereka tidak berdaya menghadapi hujan peluru dari Belanda. Akhirnya terjadi peristiwa berdarah dibwah pohon picung. Karena tidak kuat melawan Belanda akhirnya masyarakat hanya bisa pasarah menerima apapun yang terjadi. Walaupun harus kehilangan salah satu mata pencahariannya.
Sejak peristiwa itu Narwati menghilang seolah ditelan bumi, akan tetapi masyarakat terus mencari Narwati untuk meminta pertanggung jawabannya karena telah menjual pasar itu kepada Belanda. Sejak saat itu tempat terjadinya peristiwa berdarah dibawah pohon picung itu disebut Kampung Picung. Lama kelamaan setelah Belanda tidak lagi memegang kekuasaan di Indonesia, tempat itu diambil alih oleh pemerintah. Atas keinginan dari masyarakat tempat itu dijadikan pasar kembali dan diberi nama PASAR PICUNG untuk mengenang terjadinya peristiwa berdarah ditempat itu.
Langganan:
Postingan (Atom)